Completely Peeling Dropshipping Laws and Syar'i Solutions for Dropshippers
Penulis:
Dr. Kautsar Riza Salman, SE., MSA., Ak., BKP., SAS., CA., CPA
(Narasumber Radio Jakarta Islamic Centre Associate; Professor Universitas Hayam Wuruk Perbanas; Penulis Buku dan Peneliti Akuntansi Syariah; Pengurus Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) Jatim Bidang Akuntansi Syariah)
Dipublikasikan pada Selasa, 14 Juni 2022 di https://islamic-center.or.id/kupas-tuntas-hukum-dropshipping-dan-solusi-syari-bagi-dropshipper/
Dengan Judul KUPAS TUNTAS HUKUM DROPSHIPPING DAN SOLUSI SYAR’I BAGI DROPSHIPPER
JIC- Dalam sistem dropshipping konsumen terlebih dahulu melakukan pembayaran baik tunai atau via transfer ke rekening dropshipper. Selanjutnya dropshipper melakukan pembayaran kepada supplier sesuai dengan harga beli dropshipper disertai dengan ongkos kirim barang ke alamat konsumen. Dropshipper berkewajiban menyerahkan data konsumen: berupa nama, alamat, dan nomor telpon kepada supplier. Bila semua prosedur di atas telah selesai, maka supplier bertugas mengirimkan barang yang dibeli kepada konsumen.
Bagaimana hukum dropshipper menurut kacamata syariat Islam? Artikel ringkas ini mengkaji hukum dropshiper berdasarkan dalil-dalil yang ada dan memberikan solusi syar’i bagi pedagang yang berstatus sebagai dropshipper.
Hukum Dropshipping
Hukum dropshipping semacam ini sesuai dengan gambaran ini maka tidak boleh dengan beberapa alasan. Alasan pertama, karena Droppshipper menjual barang yang tidak dimiliki. Berdasarkan kisah Hakim bin Hizam radhiyallahu ‘anhu ketika menyampaikan kepada Rasulullah bahwa ada seseorang yang ingin membeli barang kepada beliau, yaitu barang yang belum dimiliki Hakim bin Hizam, lantas beliau bertanya kepada Rasulullah, “Apakah boleh saya berjual belinya dengannya dan selanjutnya saya membeli barang tersebut tersebut di pasar?”
Maka Rasulullah bersabda,
لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
“Jangan engkau menjual barang yang belum engkau miliki.” (HR. Abu Daud, An-Nasai, Tirmidzi, dan Ibnu Majah. Syaikh Muhammad Nashirudin Al-Albani, seorang pakar hadits mengatakan hadits ini sahih).
Sistem dropshipping mirip dengan kisah yang diceritakan Hakim bin Hizam, dan Rasulullah telah memberi nasihat untuk tidak menjual barang yang belum dimiliki. Nasihat ini tidak saja berlaku khusus untuk Hakim bin Hazim, tetapi juga berlaku bagi seluruh pedagang muslim dan muslimah agar memperhatikan dan meninggalkan larangan Nabi ini.
Alasan kedua, adalah larangan mengenai menjual barang yang belum diterima oleh pedagang. Seorang pedagang seharusnya menjual barang yang sudah dia terima dari pemasok dan selanjutnya barang yang sudah diterimanya baru boleh dijual kepada pembeli. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah,
فَإِذَا اشْتَرَيْتَ بَيْعًا ، فَلاَ تَبِعْهُ حَتَّى تَقْبِضَهُ.
“Bila engkau membeli sebuah barang janganlah engkau jual sebelum barang tersebut engkau terima.” (HR. Ahmad)
Sistem dropshipping terjadi dimana pihak penjual tidak pernah menerima barang yang dibelinya dari pemasok, karena pemasok langsung mengirimkan barang kepada konsumen akhir. Dengan demikian sistem dropshipping sesuai dengan konteks hadits ini maka tidak diperbolehkan.
Apakah terdapat solusi dari sistem dropshipping sehingga tidak ada larangan yang dilanggar? Berikut terdapat empat solusi syar’i dari sistem dropshipping agar terhindari dari menjual barang yang belum dimiliki dan menjual barang yang belum diterima. Solusi yang ditawarkan mulai dari menjalin akad wakalah dengan pemilik barang sampai dengan akad murabahah lil amir bisy syiro’.
Dropshipper sebagai Wakil dari Pemilik Barang
Bila dropshipper menjadi wakil dari pemilik barang maka hukumnya dibolehkan karena menggunakan akad wakalah bil ujrah, dapat diikat dengan akad ijarah atau ju’alah. Dalam sistem ini, hanya ada satu transaksi jual beli yaitu antara pemilik barang dan konsumen.
Sebelum menjalankan sistem dropshipping, dropshipper terlebih dahulu menjalin kesepakatan kerjasama dengan supplier. Atas kerjasama ini dropshipper mendapatkan wewenang untuk memasarkan barang dagangan supplier. Dropshipper berhak menerima ujrah atau fee yang telah disepakati sebelumnya atas kontribusinya dalam pemasaran barang.
Penentuan fee atas jasa pemasaran ini dapat dihitung berdasarkan waktu kerjasama, atau berdasarkan jumlah barang yang berhasil dijual. Bila fee didasarkan pada jumlah barang yang berhasil dijual, berarti kesepakatan dengan supplier berupa akad “ju’alah”, dimana upahnya ditentukan sesuai dengan hasil kerja, bukan waktu kerja.
Dropshipper sebagai Wakil dari Konsumen
Dropshipper dapat juga mengadakan kesepakatan dengan calon konsumen yang membutuhkan berbagai macam barang. Dengan demikian, dropshipper berperan sebagai wakil dari konsumen dan menjalankan amanah sesuai dengan permintaan konsumen. Dalam akad ini, dapat digunakan akad wakalah bil ujrah atau wakalah bi ghoiri ujrah.
Hal ini sebagaimana kisah Urwah al-Bariqi sebagai wakil dari Rasulullah untuk membelikan seekor kambing. Dengan uang satu dinar yang diterimanya dari Rasulullah, Urwah mampu membeli dua ekor kambing. Selanjutnya, seekor kambing tersebut beliau jual lagi seharga satu dinar dan tinggallah tersisa seekor kambing. Urwah pada akhirnya menyerahkan seekor kambing dan uang satu dinar pada Rasulullah. Kisah masyhur ini termaktub dalam kitab shahih al-Bukhari.
Dropshipper sebagai Penjual dalam Salam
Dropshipper juga dapat menggunakan skema akad salam. Dalam akad salam, dropshipper berkewajiban menyebutkan berbagai kriteria barang kepada calon konsumen baik dilengkapi dengan gambar barang atau tidak. Dan setelah ada calon konsumen yang berminat terhadap barang yang ditawarkan dengan harga yang disepakati pula, maka dropshipper baru mengadakan barang.
Skema salam ini mendekati sistem dropshipping, namun terdapat beberapa perbedaan antara keduanya. Dalam skema akad salam calon konsumen harus melakukan pembayaran secara tunai dan lunas pada awal akad. Selain itu, pada akad salam, semua resiko selama pengiriman barang hingga barang tiba di tangan konsumen menjadi tanggung jawab dropshipper dan bukan supplier.
Praktik akad salam pernah dilakukan oleh para shahabat di Madinah dengan mutsman berupa kurma dengan penyerahan dua atau tiga tahun yang akan datang, tetapi dengan harga (tsaman) yang telah disepakati dan dibayar penuh di awal penuh 100% serta kriteria barang disepakati antara penjual dan pembeli. Rasulullah memberi guidance sebagai berikut:
من أسلف في شيء فليسلف في كيل معلوم ووزن معلوم إلى اجل معلوم. متفق عليه
“Siapapun yang memperjualbelikan sesuatu barang dengan skema salam atau salaf (pembayaran di muka lunas sedangkan serah terima barang tertunda, maka hendaknya dengan takaran yang jelas, timbangan yang jelas, dan tempo serah terimanya juga jelas” (Muttafaqun ‘alaih)
Dropshipper sebagai Penjual dalam Murabahah lil ‘amir bisy syiro’
Dropshipper dapat menggunakan skema akad murabahah lil ‘amir bisy syiro’ (pemesanan tidak mengikat). Saat ada calon konsumen yang tertarik dengan barang yang dipasarkan, dropshipper dapat mengadakan barang tersebut sebelum ada kesepakatan harga dengan calon pembeli. Setelah mendapatkan barang yang diinginkan, dropshipper segera mengirimkannya ke calon pembeli dan mengadakan negosiasi harga. Pada saat negosiasi harga, calon pembeli memiliki wewenang penuh untuk meneruskan pembelian atau mengurungkan rencana pembeliannya.
Demikian artikel ringkas seputar hukum dropshipping dan mencari solusi syar’i agar terhindar dari praktik jual beli yang diharamkan. Semoga bermanfaat.