Hope BI is Not Reckless
Penulis: Prof. Drs. Ec. Abdul Mongid, M.A., Ph.D.
Guru Besar Universitas Hayam Wuruk Perbanas
Pakar Perbankan
Dipublikasikan pada Selasa, 14 Juli 2022 di https://bisnisindonesia.id/article/opini-berharap-bi-tidak-gegabah dengan judul "Berharap BI Tidak Gegabah"
Memaksakan menaikkan suku bunga saat ini akan menjadi kesalahan kebijakan yang fatal. Semua pihak wajib menjaga momentum pemulihan ekonomi.
Kebijakan Bank Sentral Amerika (The Fed) menaikan suku bunga membawa aliran dana masuk ke Amerika. Beberapa hari lalu dolar Amerika sempat menyentuh Rp15.000 walaupun pada akhirnya kembali dibawah angka itu.
Perkembangan depresiasi ini merupakan imbas psikologis sehingga tidak perlu direspons secara panik dengan menaikkan suku bunga maupun intervensi di pasar secara berlebihan. Keadaan serupa terjadi di negara lain.
Perubahan arah kebijakan yang drastis akan berdampak lebih buruk karena kredibilitas kebijakan diragukan.
Perkembangan nilai tukar yang terjadi akhir-akhir ini sebaiknya disikapi dengan tenang dan jangan menyeret bank sentral (BI) untuk menerapkan rule of thumb terkait dengan hubungan antara nilai tukar dengan inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Ingat prinsip hubungan nilai tukar dan inflasi juga tergantung pada struktur ekonomi suatu negara (Forbes:2015). Makanya prinsip tersebut tidak selalu berkerja baik dalam memprediksi pergerakan mata uang dalam memengaruhi harga impor dan inflasi suatu negara.
Apalagi pergerakan kurs itu tidak eksogen tetapi juga karena faktor endogen. Implikasinya BI jangan terlalu memaksakan menaikkan suku bunga untuk mendorong terjadinya apresiasi rupiah.
Artinya depresiasi rupiah imbas dari kenaikan suku bunga di AS yang mendorong terjadinya arus keluar modal. Ini sebenarnya hanya sebuah manipulasi saja.
Amerika Serikat hanya memanfaatkan posisinya sebagai penerbit mata uang perdagangan dan mata uang untuk lalu lintas pembayaran internasional.
Dunia mungkin akan mengalami keadaan seperti pada tahun 1970-an di mana inflasi yang tinggi diikuti dengan merosotnya pertumbuhan ekonomi yang dikenal sebagai episode stagflasi.
Sejujurnya, inflasi tinggi bukan akan terjadi tetapi sudah terjadi. Pada Juni, secara tahunan, inflasi kita sudah 4,35% yang berarti level tertinggi setelah 2014.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan inflasi pada Juni mencapai 0,61%. Lebih tinggi dari inflasi pada Mei yakni sebesar 0,4%.
Bahkan di Amerika Serikat, inflasi tahunan sudah mencapai 8,6% yang merupakan angka tertinggi dalam 40 tahun terakhir.
Bagi Orang Indonesia yang akrab dengan inflasi 2 digit, yang terjadi saat ini secara psikologis ringan. Sebaliknya, bagi orang Amerika pasti “shocked” karena biasanya inflasi hanya berkisar 2%.
Merujuk proyeksi Bank Dunia, negara-negara maju akan mengalami kenaikan inflasi sampai 3,5 kali yaitu dari 1,9% menjadi 6,95%. Sementara pada negara-negara emerging market berkembang seperti Indonesia maka akan naik dari 4,23% menjadi 9,37%.
Dalam analisisnya, Bank Dunia menyatakan gejolak harga akan terus terjadi sampai gangguan pasokan akibat perang di Ukraina Rusia berakhir. Makanya wacana mengekspor beras harus dibatalkan karena pasokan bahan makanan sedang kacau.
Menaikkan suku bunga bukan sebagai solusi “quick fix”. Bank sentral umumnya dan BI Indonesia (BI) menghadapi pilihan sulit antara harus menaikkan atau tidak menaikkan suku bunga.
Jujur saja, secara global Bank Sentral seolah kehilangan kendali atas perekonomian. Sayangnya central banker masih percaya pada mitos kebijakan moneter dengan menggunakan instrumen suku bunga sebagai instrument yang efektif.
Sejujurnya, karena ini satu-satunya alat yang dimiliki bank sentral alias it is the only game in the town makanya ya terpaksa dimainkan. Tak peduli efektif atau tidak.
Tak peduli menyembuhkan atau memperparah, yang penting bertindak untuk menunjukan tanggung jawab sebagai bank sentral.
Inventarisasi dampak kenaikan suku bunga harus dilakukan. Ketika suku bunga acuan dinaikkan maka secara instan terjadi kenaikan suku bunga di pasar terutama suku bunga kredit.
Di tengah upaya mendorong pemulihan aktivitas ekonomi pascapandemi, menaikkan suku bunga punya konsekuensi yang sangat buruk yaitu terjadinya kenaikan kredit bermasalah (NPL) karena daya dukung untuk membayar kredit makin berat.
Sementara kita juga tahu saat ini perusahaan-perusahaan baik skala menengah maupun besar sangat membutuhkan modal kerja untuk mendorong atau memutar kembali kegiatan produksinya. Apalagi setiap kenaikan suku bunga, cenderung direspons cepat. Naik cepat turun lambat.
Kami berharap BI tidak gegabah dalam melihat perkembangan kurs dan inflasi yang terjadi. Semoga ketenangan dan akal sehat dalam membaca ekonomi saat tetap lebih kuat daripada dogma “uzur” hubungan antara suku bunga, inflasi dan nilai tukar.
Merespons kenaikan inflasi saat ini dengan menerapkan kebijakan moneter yang ketat hanya “plagiasi” jawaban mahasiswa ekonomi semester satu. Memang kurs rupiah menguat, barang impor lebih murah tetapi ongkos ekonominya terlalu mahal.
Singkirkan dulu kerangka kebijakan moneter inflation targeting. Sejujurnya, keadaan dapat diperbaiki dengan hasil lebih baik melalui komunikasi dan koordinasi antara BI, Kementerian Keuangan dan para konglomerat daripada menaikan suku bunga.
Demikian juga intervensi pasar valas. Jangan terlalu obral. Ini pertarungan kebijakan jangka panjang.
Walaupun cadangan devisa pada akhir Juni 2022 mencapai US$136,4 miliar, BI harus tetap harus hemat bermain di pasar sambil menunggu momentum yang tepat untuk intevensi. Selama pasar masih panik, biarkan dahulu sampai tenang.
Dewan Gubernur BI pasti tahu bahwa kebijakan moneter untuk mengatasi inflasi yang bersumber dari ketidaklancaran produksi, harga pangan dan energi sebagai akibat dari situasi eksternal tidak akan menyembuhkan tetapi membuat sakit makin parah.
Memaksakan menaikkan suku bunga saat ini akan menjadi kesalahan kebijakan yang fatal. Semua pihak wajib menjaga momentum pemulihan ekonomi. (*)
Editor: Rustam Agus (bisnisindonesia.id)